Aku memperhatikan matanya. Berusaha bisa seperti beliau. Tegar dan kuat. Aku terus memandangi matanya. Berharap tak temukan sesuatu yang lain dihadapanku. Tapi kenyataan. Ini kenyataan, bukan mimpi. Aku melihatnya. Mendapatinya tengah terbaring tanpa nyawa.
Lalu ayah pun mendekatinya. Aku terus mengikuti geraknya. Ingin slalu disampingnya, dengan harapan aku bisa tegar seperti ayah meski nyatanya aku melakukannya sambil terus menangis. Berbeda sekali dengan ayah. Tangan ayah bergerak, membuka kain hijau yang mengurungi keranda. Dan yang terlihat hanya sosok yang terlapisi kain putih. Ayah tak bersuara, sama sekali. Aku pun tetap diam, kecuali isak tangis yang tak dapat disembunyikan, dan genggaman eratku pada adikku.
Ayah terus bergerak, membuka kain putih itu pada bagian atas. Dalam hitungan detik, kini nampak wajah yang tenang tanpa pikiran dan beban. Begitu bersih, dan sekali lagi, tampak sangaaaat tenang. Isak tangisku berhenti. Yaa, berhenti, aku ingat betul saat itu isak tangisku berhenti.
“uda ya?” suara ayah tenang pada kami bermaksud ingin menutup kembali kain putih itu. Kami tetap diam. “udah ya? Udah ikhlas?” kata ayah lagi dan kali ini aku sadar aku harus menjawabnya.
“iyah..” jawab adikku. Tapi aku tetap diam. Sedihku perlahan memudar. Tapi kini segera diganti dengan kesedihan yang lain saat aku melihat ayah. Ayah bertanya kami sudah ikhlas tow belum, tapi ingin aku balik bertanya, apa ayah memang sudah ikhlas, ataw sedang berusaha ikhlas dengan bertanya pada kami.
“udah yaa..” suara ayah lagi, kali itu sambil menutup kembali kain putih yang memang seharusnya pada tempatnya.
Aku.
Menangis lagi.
0 komentar pembaca:
Posting Komentar