Pagi ini, langkahnya cepat sekali menyusuri jalanan yang menghubungkan kosannya dengan jalan ramai dan padat kendaraan berasap. Sebisanya mencari celah untuk menyebrangi jalan, menerobos kendaraan-kendaraan yang lajunya engga pada bisa pelan. Ve akhirnya duduk santai di angkot, meski tau macetnya bisa bikin telat, apalagi yang bisa dilakukan selain itu? Mungkin dia belum lelah menghadapi kota ini, mungkin dia masih nyaman dengan kesederhanaan dan masih belum berubah cita-citanya.
Setengah jam akhirnya dia siap untuk turun dari angkutan umum tanpa ac tersebut.
"kiri ya bang, disini.." katanya santai.
"nggak berani neng, ada polisi tuh ngeliatin"
"udah berenti ajaa bang" Ve dengan cepat pada si sopir. Tertangkap kemudian mata sopir angkutan umum itu melihat ke arah tas yang Ve bawa, karena kebetulan ia dudud disamping sopir. Dan tanpa Ve tau kenapa, si sopir kemudian berhenti memberi kesempatan Ve untuk turun.
"neng tas nya ada gambar garudanya. Neng ini bos nya polisi-polisi itu ya?" tanya nya sambil terima ongkos yang Ve kasih. Ve cuma senyum, sambil dalam hati bilang; ya kita ini mungkin pantes jadi bos nya mereka hehehe.
Ve turun dan memperhatikan satu tubuh yang sedang berdiri dengan mata yang sengaja dibuka lebar ke arah sopir angkot yang sebelumnya Ve kasih ongkos. Si pemilik tubuh yang buncit dengan cepat menghentikan angkutan umum tersebut. Dengan langkah cepat, Ve kemudian menghampiri tempat kejadian perkara :p
"suruh jalan aja angkotnya" kata Ve cepat, sebelum si buncit berseragam itu sempat bicara. "suruh jalan ajaa." kata Ve lagi dan berhasil menarik perhatian si buncit ke arahnya. Sopir angkot yang lihai pun dengan segera tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk tancap gas dan pergi dari tekape :p
"ada apa pak, kok dberhentiin?" Ve pura-pura bego kasih pertanyaan ke si buncit berseragam. "ga boleh berenti disini?" katanya lagi malah bikin bapak buncit itu makin emosi mukanya.
"kalau mau berenti dan turun disana mbak, di halte." jawabnya dengan gaya yang dibuat tegas sambil tetap pegang-pegang handytalk nya.
"kalo gitu sekarang bapak cek dijalan sebrang sana, gimana temen-temen pe en es bisnya pada ngetem lama dipinggir jalan, bukan di shelter." lantang sekali suara Ve pagi itu.
"di jalan ini atau di sebrang?" jawap bapak buncit enggak mau kalah.
Ve yang tadinya berniat menyudahi dan ingin segera pergi, malah jadi berbalik lagi. "terus apa bedanya disini atau disebrang? Sama-sama berenti, sama-sama di pinggir jalan, sama-sama bukan di shelter, ngetem malah!" Ve betul geram, dan ingat ia sudah terlambat. Ia segera pergi memunggungi bapak buncit yang sekarang terlihat sibuk bicara dengan handytalk nya.
Tapi Ve betul geram, dan engga peduli teman-teman bapak buncit berseragam itu memperhatikannya sambil mendekatkan handytalk ke telinga mereka masing-masing. Peduli apa, pikir Ve. Ia sudah benar-benar telat. Dengan langkah yang kembali cepat, Ve menaiki anak tangga penyebrangan jalan. Tas ransel nya berisi laptop dibetulkannya agar nyaman dipundak. Di setengah perjalan menyebrang, tepat di atas di tengah jembatan penyebrangan, ia diberhentikan oleh pria-pria berseragam yang jauh lebih muda dari pria buncit dibawah sana tadi.
"berhenti sebentar mba," kata salah satu dari mereka. Tapi Ve terus jalan. "mbak, berhenti dulu sebentar." kata pria itu lagi, yang memang jauh lebih sopan daripada bapak buncit yang kancing seragamnya hampir tak kuat menampung isi seragamnya.
"ada apa, saya udah telat." Ve singkat.
Mereka kemudian hanya sekitar dua detik saling tatap, Ve kemudian melanjutkan langkahnya.