elegi

tidak terlalu melelahkan kegiatan hari itu baginya, meski cukup membuatnya khawatir, memenuhi kepalanya. gak seperti biasanya, siang itu ia memutuskan untuk menuruti apa kata temannya -setelah bertahun-tahun jarang sekali melakukannya- memakai sarung tangan. setelah membayar parkir, gak tunggu apa-apa lagi, bergegas ia meninggalkan gedung empat lantai tersebut. siang itu terik matahari menusuk kulitnya, seperti biasa gak perlu pikir panjang, Ve -begitu ia biasa dipanggil- ngebut sejadi-jadinya. kepalanya terasa sakit, cuma bisa membayangkan pasti enak minum jus stroberi trus rebahan di kamar.

sampai jalan gejayan, sebentar lagi, pikirnya. memutuskan untuk menyalip motor di depannya, tanpa sadar ada motor lain yang juga akan menyalipnya. terjepit di tengah, dan harus mengalah demi keselamatan tiga motor termasuk dirinya *lebay ini bahasanya*, dan mengingat si penyalip lain adalah lelaki dengan tas ransel tinggi dan terlihat cukup menakutkan kalau-kalau harus berurusan dengannya nanti. Ve mencondongkan badan dan motornya ke kiri, menghindari pengendara di sebelah kanannya yang sedang berusaha menghindarinya juga. matanya lurus ke depan, memperhatikan si pengendara menunduk ke arah kiri belakang yang gak sempat menyampaikan pandangan ke arah Ve, hanya sampai pada kuda besi yang Ve kendarai. lima belas meter dari tempat kejadian itu adalah perempatan ringroad utara dengan lampu merah yang baru saja menyala. semuanya berhenti, pun si pengendara kuda besi yang tadi menyalipnya. Ve memperhatikan ke arah spion motor si anak gunung -itu yang terlintas dibenak Ve saat melihat orang itu sejak kejadian cepat tadi-. semakin dekat, Ve tau arah mata si anak gunung adalah fokus ke spion kirinya. takut kalau-kalau dimarahi karena kejadian barusan, Ve ambil inisiatif untuk berhenti di sebelah kirinya, satu setengah meter di depannya. dan lagi-lagi otaknya Veka mampet, gak pikir panjang, Ve gerakkin stang motornya, menangkap si anak gunung ada dalam spion kanan motornya. dengan jelas dapat dilihatnya bagaimana matanya menangkap penuh ke arah spionnya Ve, dan masih dengan tololnya Ve tetap pada kegiatannya, tidak berpaling. how stupid she is! yaa tiga detik setelah peristiwa pandang-memandang dari pantulan cermin itu, didapatinya si lelaki pendaki gunung berbelok sedikit ke kanan, berniat menyalip mobil di depannya. sadar dengan hal itu, Ve yang masih aja bodoh, masih memegangi stang motornya, dan dengan yakin memalingkan kepala ke arah kanan, entah apa benar-benar menunggui si pengendara itu. benar saja, tepat di kanannya, berjarak satu meter saja, dengan pandangan yang tepat jatuh ke matanya Ve, dengan posisi tangan yang sama, dan mereka seperti cermin yang saling memantulkan bayangan diri masing-masing. berapa lama sampai akhirnya Ve sadar tentang mereka yang terlalu lama saling tatap. lima detik. tapi rasanya lebih dari itu, mungkin enam detik. sampai akhirnya Ve memalingkan wajahnya ke arah timer si lampu lalu lintas. hanya satu detik matanya menangkap detikan warna merah yang posisinya tinggi di atas sampai akhirnya ia dengar suara gas motor yang sengaja dimainkan kencang oleh pemiliknya dari arah tepat sebelah kanannya. lagi-lagi Ve masih bodoh, dengan refleks malah nengok ke arah suara. didapatinya si anak gunung masih memperhatikannya, kali ini sambil memainkan gas motornya, suaranya kencang, bener-bener kencang. hanya sekitar tiga detik mereka saling tatap, ah tidak, mungkin sekitar dua setengah detik karena setelah itu si anak gunung malah membuang muka ke arah depan dan maju sedikit sampai ke samping mobil. ya, mereka tidak lagi simetris sekarang. ah, peduli apa! pikir Ve.

tapi alisnya, bentuknya gak biasa. kata Ve dalam hati. ah, memang yang punya alis bentuk gitu cuma satu orang di dunia? batinnya lagi. begitu hijau menyala, semua kendaraan melaju lagi. seperti selesai sudah drama yang tadi mereka mainkan, seperti harus kembali ke balik panggung lagi dan bergumul dengan fakta-fakta hidup bahwa ia tetaplah seorang anak perempuan yang masih harus belajar, demi tujuan-tujuan hidup yang sudah ia susun dari jauh-jauh hari, dan kembali melakukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkannya. Ve ambil jalan ke arah kanan, seperti kembali ke panggung pentas, didapatinya lagi si anak gunung dengan alis merapat tadi. cuek, Ve berlaku biasa saja. jalanan padat, sampai pada polisi tidur depan polda, motornya bergerak tak lazim. seperti agak terbang, ada yang gak beres dengan motornya. tetap tenang, tetap bisa kendalikan keadaan. sampai akhirnya motornya kembali bergerak lak lazim, seperti sedikit tergoncang, seperti badannya tersentuh sesuatu, kejadian yang begitu cepat, dan sudah ddidapatinya dirinya tersungkur d aspal dengan sebelah kaki tertindih motor. "aduuuuuuhhh!!! sakiiiittttt" katanya teriak. bukan mengucap istighfar seperti yang diajarkan ayahnya, Ve malah ngomel-ngomel.

orang didepannya, yang juga terjatuh dari kendaraannya, tanpa bicara apa-apa, dengan sigap membantu Ve lepas dari tindihan motornya. dengan masih kesakitan dan ngomel-ngomel, "aduuuuhh! siapa sih maen tabrak gw aja!" katanya ketus sambil terima bantuan dari orang tersebut, akhirnya bisa berdiri.

"sorry..." ada suara dari mulut orang yang bantuin Ve. refleks Ve mengalihkan pandangan dari memperhatikan kakinya ke wajah yang punya suara. kayak orang linglung dia malah liatin alis si empu suara 'sorry' tadi.
"eh, makasih." Ve lebih kalem. "lo tau gak siapa yang nabrak gw tadi, pasti kabur deh tu orang!"
"dasar dongo, gak liat tuh gw juga jatoh? lo kesenggol sama gw tadi... sorry," kata si anak gunung datar.
"heh yang dongo tuh elu pake nyenggol gw, sakit nih tau gak!" Veka jadi balik lagi ketus.
"ya tau, makanya gw minta maaf. yaudah, gw buru-buru nih." sambil mau pergi.
"lo tuh orang apa bukan sih gak punya perasaan amat! kalo kaki gw patah gimana?!!"
"udah gw tolongin bukannya bilang makasih malah cerewet marah-marah sama gw?" dengan muka serem.
"udah, udah, sana lo pergi! sana!!!" Ve kasar banget.
"daritadi gw ngomong baik-baik sama lo ya!"
"terserah!!" bentak Ve lagi. "sana pergi! enek gw liat muka lo!" masih mau ngomong lain lagi, udah gak sempet karna mulutnya ditutupin sama tangan tuh si anak gunung. setengah paksa-paksaan, akhirnya Ve berhasil lepasin.
"makanya lo jangan cerewet!" tantang lelaki agak tinggi di depan Ve.
"pergi sana! gw teriakin maling tau rasa lo digebukin massa!" Ve malah mengancam.
"gak takut!" balasnya sambil melotot.
"oke..." kata Ve pelan. "toloooooong! toloooooong! gw diperkosaaaa!!!!! toloooonggg!!!!" Ve teriak-teriak kenceng. kaget bukannya diteriakin maling, gelagapan, cepet-cepet tu anak gunung pergi. ngebut ninggalin Ve.

*****

sampai d halaman kos nya yang kecil, tanpa matiin mesin motor Ve langsung turun dan melihat-lihat keadaan motornya. nyari-nyari apa yang salah sampai ia merasa tu motor gak enak dibawa jalan. diperhatiin semua-muanya, ban depannya ada yang benjol. kaget, dia pegang-pegang itu ban.

"kenapa mbak?" sapa pak Sabar, penjaga kos cowok sebelah.
"ini pak, kok ada benjol gini yah ban motorku..." katanya bingung.
"mana?" pak Sabar sambil ke arah Ve. "oooohh, bahaya ini mbak, minta diganti nih. sana bawa ke bengkel, ganti ban luar, bahaya." lanjutnya sambil mencet-mencet itu ban depan. "lho, udah hampir benjol-benjol nih permukaan yang lain. sana bawa ke bengkel, tapi pelan-pelan jalannya ya."
"hah?" Ve kaget. "terus gimana nih pak, jangan-jangan ntar meledak di jalan?"
"ya enggak, pelan-pelan nyampe insyaAllah. coba dikurangin dulu anginnya." pak Sabar dengan sabarnya.
"iya deh..." Ve suaranya kedengern capek.
"emang darimana tadi, kok tumben pake rok gitu...?"
"abis dari tes kerja pak," kata Ve sambil ngempesin ban depan motornya. "yaudah besok aja deh ke bengkelnya, aku capek nih pak."
"yaudah, ati-ati kalo ke bengkel jangan ngebut ya mbak.." sarannya pak Sabar.
"nggih pak... makasih ya pak,"

sedikit capek, Ve ganti baju, lanjut solat dzuhur. leyeh-leyeh bukannya beli makan, dia malah ketiduran.

*****

bangun tidur pagi-pagi, udah gak inget sama kejadian kemarin, dan toh kakinya juga gak sakit-sakit banget, Ve bergegas mandi udah planning mau beli ban depan buat motornya. Ve pergi, keluar dari kos setelah terima telpon adiknya yang kasih tau dimana tempat yang recomended, yaelaaah ternyata gak jauh dari lampu merah kosannya. langsung aja dia tancep gas, udah lupa sama pesennya pak Sabar kemarin.

sampai ditempat ban, Ve kasih kunci ke tukangnya. "ganti ban depan, mas." katanya singkat.
"mana mbak? motor apa?" mas nya ramah.
"tuh mas, mio, ban yang depan yah, pake irc." pesannya.
"oke," kata mas nya pergi ke dalem, dan balik lagi bawa kursi, "duduk sini aja mbak..."
"iya, makasih mas." Ve ngejawab sambil liat-liat brosur.

baru duduk berapa detik, tiba-tiba ada bayangan mendekat, "wih, ganti penampilan nih. kok gak pake rok lagi kayak kemaren?" suara yang masih asing banget buat telinga Ve, tapi jadi gak asing lagi waktu Ve lihat ke arah sumber suara, lihat bentuk alisnya.
"heh ngapain lo ngikutin gw?!" Ve langsung ketus. tapi setengah detik kemudian langsung sadar gak mungkin itu orang ngikutin dia sampai hari ini kan. "ngapain lo disini!" kata Ve meralat omongannya.
"ya terserah gw lah mau ngapain." katanya agak galak. "nama lo siapa?"
"idih! ngapain gw harus kasih tau nama gw!"
"lo tuh gak usah ke-geer-an. dari kemaren juga gw mau tanya nama lo." jawab si lelaki sambil mengalihkan pandangan ke arah ban-ban yang tersusun rapi dalam toko. "lo mirip sama temen gw." lanjutnya pelan. Ve malah masih ngeliatin alis tu orang tanpa sadar. "tapi kemaren baju lo aneh, gak mungkin lo temen gw, makanya gw gak jadi tanya. udah gitu lo malah teriak-teriak diperkosa! lo tau gak, kalo gw orang jahat, malah gw perkosa beneran lo!"
"lo kurang ajar banget sih! sana lo jauh-jauh!" Ve marah walopun sebenernya ketakutan juga.
"nama lo siapa?" gak jera dia tanya lagi.
"Veka, bawel!" Ve langsung berdiri, pindah tempat, menjauh dari orang asing itu.

baginya, gak ada alasan buat tanya balik siapa nama orang tersebut, atau tanya apa yang ia lakukan buat bikin alisnya bisa bersatu antara alis yang kiri dengan yang kanan, atau tanya kenapa kira-kira mereka bisa ketemu lagi di tempat itu setelah hari sebelumnya mereka adu pandang dari motor masing-masing di lampu merah cukup lama, atau apalah. setelah selesai, Ve langsung pulang. sempat ia mencari keberadaan si anak gunung yang sudah tanpa ransel tinggi dipundaknya, tapi gak didapatinya ia masih disana. Ve langsung pulang ke kos lagi.

sampai d kos, kayak biasa tanpa matiin mesin, langsung turun dari motor buat buka pintu. eh malah ada motor lagi ke arahnya, dan terlihat kayaknya gak asing dari bentuk-bentuknya. sialan nih orang malah ngikutin gw! mati gw! Ve setengah kaget dan setengahnya lagi ketakutan, inget sama apa yang dibilang orang itu barusan. Ve cuma diem aja dan cepet-cepet buka pintu mau masukin motor dan berlindung ke dalem kosan. tapi orang asing itu juga gesit.

"Ve!" katanya berseru biar Ve gak masuk kos. gak tau apa yang ada dipikirannya, dia malah berhenti dan gak jadi masuk kos. Ve berbalik dan nyamperin tu orang.
"gw minta maap kalo kemaren gw kasar, tapi tolong ya lo gak usah jahat sama gw." kata Ve rada ketakutan. "kita maafan aja, gw gak bakalan inget-inget, lo juga gak usah diinget-inget lagi. deal yah?" kata Ve lagi, kali ini lebih hati-hati.
"lo Veka?" kata orang asing itu seolah gak menghiraukan apa yang udah panjang lebar Ve omongin. dan Ve cuma diem dengan muka ketakutan. "lo Veka, yang kalo ditinggalin sendirian di lapang suka nangis? yang sukanya minta tolong terbangin layangan?" Ve kaget denger kalimat yang keluar dari mulut orang yang punya alis nyambung antara yang kiri dan kanan, tetap diam dan seolah masih pengen dengerin kalimat apa lagi yang bakalan dia bilang. "lo Veka yang pernah jatoh dari sepeda, nangis-nangis bukan karna kesakitan tapi karena liat darah di kaki temennya yang juga jatoh?" mendengar yang ini Ve malah berasa ditarik ke belasan tahun silam, hal-hal yang terkadang masih dia ingat. "lo Veka yang sukanya nyari-nyari siput disekitar rumahnya buat dikasih garem biar meleleh?" mata orang itu sudah tidak asing lagi bagi Ve, Ve betul mengenalnya kali ini. "Veka Adyazura?" katanya lagi, dengan lirih.

Ve setengah berkaca dimatanya. sedikit tersenyum, dan merasa ada kelegaan yang amat dalam. memang pernah dibayangkannya, bagaimana seandainya orang yang belasan tahun silam ditangisi kepergiannya, tiba-tiba datang. Ve masih berusaha percaya dengan semua yang ada didepannya saat itu.

ia ingat betul bagaimana dulu ia menangis kencang waktu satu-satunya teman dekatnya pergi dari komplek perumnya, karena ayahnya pindah tugas di pulau lain. tangisannya betul kencang, kencang sekali, sampai ibunya kewalahan mendiamkannya. mungkin terbayang baginya hari-hari yang akan hambar tanpanya, hari-hari ia tidak akan bisa lagi main layangan atau balapan sepeda. sesuatu yang sederhana, yang bila dibayangkan oleh anak kecil akan bisa menjadi sesuatu yang luar biasa.

"Sam...." kata Ve pelan, akhirnya. "Sambu Kiandrahata." lanjut Ve.
lelaki itu tersenyum, terlihat lega karena orang didepannya saat itu ternyata masih mengingatnya. "iya, Ve."
"gw pikir ada banyak banget orang yang punya alis kayak punya lo, Sam!" Veka dengan riang.
"jadi??" jawab Sambu sambil merentangkan kedua tangannya. Ve menghambur ke arahnya, mendekapnya. erat.

***********

"Ve....! Veeee....! bangun...!" suara  teman satu kos Veka teriak-teriak sambil gedor-gedor pintu kamarnya.
entah apa yang dibutuhkannya sehingga harus dengan kasar caranya membangunkan Ve dari mimpi. mimpi yang diharapkannya nyata. ah, mana mungkin. batinnya lemas. lo udah beda tempat sama gw, gak mungkin kan mimpi barusan bakal jadi nyata? batinnya sedih. tapi gapapa, seenggaknya lo bisa dateng kapan aja dimimpi gw kan, Sam... katanya lagi berusaha menghilangkan sedihnya. "lo baik-baik disana ya, Sam. gw udah minta sama Allah buat kasih satu malaikat buat temenin lo." katanya lirih sambil berusaha senyum, mengambil boneka kecil disampingnya. boneka yang dulu Sambu kasih diulangtahunnya, tepat diumurnya empat tahun.
"iyaaaaaa...! gw udah bangun!"

0 komentar pembaca:

Posting Komentar